Pahlawan Bangsa Tanpa Dianggap Berjasa
Dalam diskursus pembangunan nasional, profesi guru seringkali digambarkan sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa.” Ungkapan ini, meskipun romantis, secara paradoks juga merefleksikan undervaluasi sistemik terhadap peran guru dalam masyarakat. Guru adalah fondasi peradaban; mereka membentuk karakter, kapasitas intelektual, serta etika generasi penerus. Namun, secara sosial, ekonomi, dan politik, posisi guru kerap ditempatkan dalam ruang marginal sering dihormati secara simbolik, tetapi tidak diapresiasi secara substantif.
Guru sebagai Modal Sosial dan Human Capital
Teori human capital yang dipopulerkan oleh Theodore W. Schultz menegaskan bahwa pendidikan adalah investasi paling produktif dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Guru, sebagai agen utama dalam sistem pendidikan, merupakan penggerak investasi tersebut. Namun ironinya, pahlawan yang mencetak kapital manusia justru sering diposisikan sebagai pihak yang harus “berjuang sendiri” di tengah keterbatasan kesejahteraan. Dalam perspektif sosiolog Pierre Bourdieu, guru adalah agen pembawa cultural capital nilai, norma, dan habitus yang diwariskan kepada murid. Artinya, peran guru bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi juga pembentuk struktur sosial. Tanpa guru, proses reproduksi budaya dan nilai bangsa akan terputus.
Paradoks “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”
Istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” memiliki ambiguitas semantik. Di satu sisi, ia menempatkan guru dalam posisi luhur, seakan-akan berkorban tanpa pamrih. Namun di sisi lain, istilah ini juga menjadi justifikasi kultural untuk mengabaikan hak kesejahteraan guru.
- Filosofi Dewey (Demokrasi dan Pendidikan), John Dewey menekankan bahwa pendidikan adalah sarana pembentukan demokrasi. Jika guru hanya dipandang sebagai figur yang “berkorban,” maka fungsi mereka sebagai aktor demokratis terabaikan.
- Rawls (Teori Keadilan Distributif), Rawls menegaskan bahwa ketidaksetaraan hanya sah jika memberi keuntungan pada kelompok paling rentan. Maka, pengabaian kesejahteraan guru justru melanggar prinsip keadilan.
- Sen (Capability Approach), Amartya Sen mengingatkan bahwa keadilan bukan hanya distribusi sumber daya, tetapi juga kemampuan individu untuk mewujudkan potensinya. Guru yang hidup dalam keterbatasan tidak memiliki capability optimal untuk mendidik generasi.
Antara Simbol dan Realitas Guru sebagai Pahlawan Modern
Dalam realitas sosial, guru berada pada kontradiksi antara simbolisme dan materialisme:
- Simbolisme Sosial, Guru dihormati dalam wacana publik, diperingati setiap Hari Guru Nasional, bahkan dinyatakan sebagai “pahlawan bangsa.”
- Materialisme Ekonomi, Namun faktanya, banyak guru khususnya guru honorer masih bergaji rendah, tidak setara dengan tanggung jawab besar yang mereka emban.
Paradoks ini menggambarkan apa yang oleh Habermas disebut sebagai krisis legitimasi: sistem negara memerlukan legitimasi moral dari guru sebagai agen pendidikan, tetapi gagal memberikan dukungan struktural yang memadai.
Reposisi Guru Dari “Tanpa Jasa” ke “Pahlawan Berjasa”
Untuk keluar dari jebakan retorika “tanpa tanda jasa,” perlu reposisi paradigma:
- Penguatan Legitimasi Struktural
- Negara harus mengakui guru sebagai aset strategis pembangunan, bukan sekadar pengeluaran APBN.
- Implementasi Pasal 31 UUD 1945 tentang hak pendidikan perlu diperluas dengan menjadikan kesejahteraan guru sebagai prioritas konstitusional.
Pendidikan sebagai Investasi Publik
- Mengikuti perspektif Sen, pendidikan dan guru harus dipandang sebagai investasi kapabilitas masyarakat, bukan beban negara.
Transformasi Narasi Sosial
- Perlu dekonstruksi istilah “tanpa tanda jasa” menuju istilah yang lebih adil “pahlawan berjasa yang diakui.”
Guru adalah pahlawan bangsa dalam arti yang sesungguhnya, tetapi seringkali tidak dianggap berjasa secara struktural. Penghormatan simbolik tanpa dukungan material hanyalah bentuk retorika kosong. Dalam perspektif Rawls, Dewey, dan Sen, mengabaikan kesejahteraan guru sama saja dengan melemahkan fondasi keadilan sosial, demokrasi, dan kapabilitas masyarakat. Dengan demikian, guru seharusnya tidak lagi diposisikan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi sebagai pahlawan yang jasanya harus diakui secara sistemik dan substantif. Pendidikan bukan beban, melainkan investasi; guru bukan pengorban, melainkan penggerak peradaban.

Posting Komentar