Pangkat Jenderal, Gaji Kopral

Pangkat Jenderal, Gaji Kopral

Pangkat Jenderal, Gaji Kopral


Di sebuah negeri yang penuh dengan jargon kemajuan, kita sering kali mendengar cerita tentang manusia-manusia yang berdiri tegak bagaikan jenderal berpangkat tinggi, penuh tanggung jawab, dan mengemban misi besar dalam sistem kerja. Namun, ketika membuka lembaran penghasilan yang diterima tiap bulan, yang tampak bukanlah angka yang setara dengan kejayaan pangkatnya, melainkan gaji seorang kopral yang jauh dari standar kehidupan layak.

Fenomena ini bukan sekadar paradoks, tetapi menjadi cermin buram dari problem struktural yang merasuk dalam tubuh dunia kerja kontemporer. Seorang Pierre Bourdieu dalam teori “habitus dan kapital simbolik”-nya menyatakan bahwa status dan penghargaan sosial tidak selalu sejalan dengan imbalan material. Ada pekerja yang memiliki pangkat dan posisi bergengsi, namun gajinya tidak lebih dari sekadar uang pengganti lelah. Di sinilah lahir sebuah istilah populer di kalangan pekerja: pangkat jenderal, gaji kopral.

Simbol Pangkat dan Realitas Gaji

Secara simbolis, pangkat mencerminkan hierarki, kekuasaan, dan prestise. Dalam dunia kerja modern, pangkat itu dapat berupa jabatan “manager”, “supervisor”, hingga “head of division” yang kerap dijadikan tolok ukur kesuksesan. Namun, realitas kesejahteraan tidak ditentukan oleh nama jabatan, melainkan oleh daya beli yang melekat pada penghasilan.

Menurut Teori Keadilan John Rawls (A Theory of Justice, 1971), setiap individu berhak memperoleh distribusi kesejahteraan yang adil, di mana kesenjangan hanya dapat dibenarkan jika membawa manfaat lebih besar bagi kelompok yang paling kurang beruntung. Akan tetapi, dalam praktiknya, banyak pekerja berpangkat tinggi justru terjebak dalam ilusi status, sementara gajinya terperangkap dalam ketidakadilan struktural.

Antara Martabat dan Perut

Keresahan pekerja dalam situasi ini dapat dibaca melalui perspektif Karl Marx tentang “alienasi kerja”. Marx menyebutkan bahwa pekerja sering kali teralienasi bukan hanya dari hasil kerjanya, tetapi juga dari dirinya sendiri, ketika jerih payah tidak setara dengan penghidupan yang layak.

Di ruang kantor ber-AC, seorang pekerja mungkin dipanggil dengan gelar “jenderal”—karena ia mengendalikan tim besar, membuat laporan strategis, hingga memikul tanggung jawab besar—namun ketika pulang ke rumah, ia harus berhitung dengan cermat apakah uang bulanannya cukup untuk membayar cicilan rumah dan kebutuhan anak-anaknya.

Inilah wajah nyata dari pangkat jenderal, gaji kopral: martabat kerja yang megah di ruang publik, namun rapuh di ruang domestik.

Kesenjangan Struktural dan Ilusi Kemajuan

Dari kacamata teori ekonomi Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, kesenjangan upah merupakan salah satu gejala utama dari “ekonomi yang tidak inklusif”. Di banyak negara berkembang, pekerja sering kali menerima jabatan dan gelar yang terkesan bergengsi, tetapi gajinya tidak sesuai standar internasional. Akibatnya, yang lahir adalah ilusi kemajuan: tampilan luar yang megah, namun rapuh di dalam.

Kita dapat menyamakan kondisi ini dengan sebuah rumah megah berpondasi rapuh. Dari jauh, rumah itu tampak gagah, namun satu guncangan kecil saja dapat meruntuhkannya. Begitu pula dengan pekerja berpangkat jenderal namun bergaji kopral: sekali menghadapi krisis, ia berada di ambang keruntuhan finansial.

Jalan Keluar

Pertanyaan besarnya adalah: apakah pangkat harus selalu sejalan dengan gaji? Jawabannya sederhana namun penuh tantangan. Pangkat memang melambangkan kehormatan, tetapi gaji adalah representasi dari martabat hidup. Keduanya tidak boleh dipisahkan.

Teori Capability Approach dari Amartya Sen (1999) mengajarkan bahwa kesejahteraan harus diukur dari kemampuan nyata manusia untuk hidup bermartabat, bukan sekadar status formal. Maka, memperbaiki struktur penggajian adalah keharusan, bukan pilihan. Sistem kerja yang adil harus menghapus jurang antara simbol dan realitas: ketika seseorang memegang tanggung jawab besar, ia berhak atas kesejahteraan yang setara. Dengan begitu, pekerja tidak lagi menjadi jenderal di atas kertas, tetapi juga jenderal dalam kesejahteraan hidupnya.

Penutup

Fenomena pangkat jenderal, gaji kopral adalah kisah tentang jurang antara simbol dan substansi, antara martabat dan perut, antara panggung kehormatan dan ruang dapur. Selama kita masih membiarkan pekerja menanggung beban pangkat besar dengan upah kecil, kita sesungguhnya tengah merayakan ilusi kemajuan. Maka, tugas besar kita sebagai masyarakat modern adalah memastikan bahwa setiap pekerja tidak hanya diberi pangkat yang mulia, tetapi juga gaji yang layak, sehingga martabat manusia benar-benar terjaga. Sebab, pada akhirnya, pangkat hanyalah tanda, sedangkan gaji adalah nyawa.

Anda mungkin menyukai postingan ini