Gelombang Suara Rakyat di Gedung DPR 25 Agustus 2025
Pada Senin, 25 Agustus 2025, ribuan warga khususnya pelajar dan mahasiswa menggerakkan sebuah aksi protes besar-besaran di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta. Aksi ini mencerminkan puncak keresahan yang meliputi kesenjangan ekonomi, kecurigaan terhadap elit politik, dan frustrasi terhadap pengelolaan publik. Dalam kerangka teori politik kritis dan ekonomi publik, peristiwa ini menjadi studi kasus penting tentang legitimasi pemerintahan dan moralitas distribusi sumber daya.
Tunjangan Besar dan Ketidakadilan Simbolik
Pemicu utama demo adalah publikasi bahwa 580 anggota DPR telah menerima tunjangan perumahan hingga Rp50 juta per bulan angka yang setara dengan sekitar 20 kali upah minimum di wilayah termiskin. Sementara versi lain menyebutkan total remunerasi parlemen bahkan melebihi Rp100 juta per bulan. Ketika publik melihat tunjangan ini di tengah ketidakpastian ekonomi, teori keadilan distributif John Rawls menjadi sangat relevan. Rawls menekankan bahwa ketimpangan hanya dapat dibenarkan bila menguntungkan mereka yang paling tidak beruntung. Namun, dalam kasus ini, ketimpangan tersebut justru memperkuat ketidakpercayaan terhadap elit pemerintahan.
Eskalasi Perlawanan dan Respons Keamanan
Aksi dimulai dengan massa berusaha mendekati kompleks parlemen. Petugas keamanan merespons dengan gas air mata, meriam air, dan barikade fisik. Massa membalas dengan melempar batu, menyalakan api, bahkan membakar sepeda motor serta menyalakan kembang api. Jalan di sekitar kompleks DPR diblokir, menyebabkan kemacetan parah menunjukkan dampak sosial yang meluas dari protest politik ini. Menurut teori mobilisasi kolektif Charles Tilly dan Mancur Olson, konflik semacam ini menjadi katalisator ketegangan struktural dalam artian ketimpangan ekonomi memicu ekspektasi yang tak terpenuhi, dan ketika mekanisme formal gagal meredam frustrasi, maka tindakan langsung seperti demonstrasi pun terjadi.
Siapa yang Turun ke Jalan?
Gerakan "Revolusi Rakyat Indonesia" muncul sebagai salah satu penggerak utama aksi. Namun organisasi buruh besar maupun elemen mahasiswa formal seperti BEM SI dan KSPSI memilih tidak terlibat, menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui penggagas aksi ini. Hal ini menunjukkan adanya fragmentasi gerakan antara mobilisasi spontanitas rakyat dan struktur organisasi formal. Julian Go dan Slavoj Žižek sering menyoroti dinamika ini, bahwa perlawanan legimitas kadang muncul dari spontanitas rakyat, bukan melalui kanal resmi organisasi yang mungkin telah terinstitusionalisasi.
Legitimasi Politik dan Tanggapan Pemerintah
Pembicara DPR, Puan Maharani, membela tunjangan tinggi tersebut sebagai penyesuaian terhadap biaya hidup Jakarta yang tinggi. Namun, penjelasan tersebut sulit diterima oleh publik yang melihatnya sebagai simbol ketidakpekaan elit terhadap realitas rakyat. Dari sudut pandang teori legitimasi Max Weber legitimasi rasional-legal dibangun oleh institusi, bukan individu. Ketika institusi gagal mempertahankan persepsi keadilan, maka legitimasi mudah terkikis dan memicu delegitimasi publik.
Krisis Kesejahteraan dan Aspirasi Rakyat
Perkara tunjangan mencuat adalah akibat akumulasi frustrasi rakyat atas kesenjangan daya beli, korupsi, dan ketimpangan layanan publik. Kekecewaan ini sekaligus menjadi ekspresi penolakan terhadap oligarki baru yang megah di atas kertas tapi rapuh di bawahnya. Teori capability approach dari Amartya Sen mengingatkan kita bahwa kesejahteraan tidak semata soal angka di rekening, melainkan kesempatan nyata untuk hidup bermartabat. Ketika wakil rakyat menikmati perlakuan istimewa di tengah kemelaratan publik, selisih antar realitas tersebut menjadi basis revolusi moral.
Jalan Menuju Rekonstruksi Kepercayaan
Aksi pada 25 Agustus 2025 merupakan representasi demonstrasi sakit hati negara. Rakyat mendobrak pembatas simbolik demi menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Sebuah sistem demokrasi yang sehat memerlukan dialog legitimasi dan redistribusi moral bukan sekadar rutinitas legislatif. Sebagai pengamat akademik, saya menyarankan agar pemerintah dan DPR membuka ruang dialog inklusif, mengevaluasi regulasi remunerasi publik, dan memperkuat mekanisme kontrol sosial. Tanpa rekonstruksi kepercayaan, demokrasi justru akan rapuh di hadapan krisis kesejahteraan dan moralitas publik.

Posting Komentar